Penulis : Alwi Alatas
Perjalanan hidup manusia tak selalu mudah untuk ditebak. Tidak ada jaminan bahwa mereka yang sudah berhasil akan selamanya berhasil. Demikian juga mereka yang nasibnya kelihatan begitu buruk, boleh jadi keadaannya menjadi lebih baik di masa-masa berikutnya. Karenanya kita tidak boleh berputus asa saat mengalami kesulitan hidup, dan juga jangan merasa aman jika kehidupan kita berada dalam kesenangan dan keberhasilan. Saat dilanda ujian hidup yang sangat berat, kita perlu terus memberikan secercah harapan bagi diri kita sendiri terhadap peluang datangnya kebaikan di kemudian hari. Demikian juga saat hidup kita nyaman dan sukses, jangan sampai kita kehilangan kewaspadaan dan kesiapan terhadap kemungkinan yang buruk di masa-masa berikutnya. Lewat tulisan ini kami ingin menceritakan beberapa contoh kasus perjalanan hidup manusia yang kadang bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Dari sana mungkin kita bisa banyak belajar dan merefleksikannya bagi kehidupan kita sendiri. Para pembaca di Malaysia tentu mengetahui kisah seorang gadis jenius matematika yang ayahnya merupakan keturunan Pakistan dan ibunya berasal dari Malaysia. Ia menjadi salah satu mahasiswi termuda di Oxford, Inggris, pada usia 13 tahun (biarlah saya tidak menyebut namanya). Wow, menjadi mahasiswi jurusan Matematika di Oxford pada usia 13 tahun (pada usia itu saya baru saja lulus sekolah dasar). Semua orang tentu berdecak kagum. ’Math genius,’ ’female child prodigy’ (keajaiban gadis cilik), demikian orang-orang menyebutnya. Siapa yang tidak akan iri dengan gadis cilik ini. Potensinya begitu cemerlang dan masa depannya begitu cerah. Banyak orang mungkin membayangkan gadis ini akan muncul sebagai salah satu raksasa pengetahuan pada masa yang akan datang, atau setidaknya ia akan menjadi orang yang sangat berhasil. Tapi apa yang terjadi kemudian? Dua tahun setelah masuk Oxford ia lari dari rumah dan tidak meneruskan kuliahnya. Pada umur 19 tahun ia menikah dan bercerai satu tahun kemudian. Dan pada usia 23 tahun ia didapati menjadi seorang pelacur yang menawarkan jasanya melalui internet. Identitas dan profesi barunya diungkap oleh seorang wartawan Inggris dan beritanya menimbulkan kegemparan di negara itu, dan juga di Malaysia. Ayahnya sendiri beberapa waktu sebelumnya telah dipenjarakan karena pelecehan seksual. Banyak orang yang merasa shok dan sedih dengan apa yang mereka dengar. Apa yang sebelumnya merupakan anugerah, kini berbalik menjadi bencana.
Nikmat dan keistimewaan yang dimiliki pada masa kecil ternyata tidak memastikan kebaikan dan kesuksesan pada masa-masa berikutnya. Mudah-mudahan Allah menjaga kita dari hal yang seperti ini. Kini kita akan melihat contoh yang lain, yaitu kisah David Pelzer. Sebagaimana yang ia tuturkan sendiri melalui trilogi bukunya, A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave, Pelzer mengisahkan perjalanan awal hidupnya yang amat tragis. Ia merupakan korban child abuse kedua terburuk di negeara bagiannya di Amerika Serikat. Sejak kecil ia telah menjadi sasaran penganiayaan oleh ibunya sendiri. Setiap yang membaca kisahnya akan merasa sulit untuk membayangkan betapa seorang ibu bisa bersikap begitu jahat pada anak kandungnya sendiri. Pelzer kecil tidak diperlakukan sebagai seorang manusia oleh ibunya sendiri. Bahkan ia dipanggil dengan sebutan ’it,’ sebuah kata ganti bahasa Inggris untuk benda atau hewan. Sehari-hari ia disiksa, tidak diberi makan (kadang diberi makanan sisa dari tempat sampah).
Ia pernah dikurung dalam kamar mandi yang diisi bahan kimiawi yang nyaris membuatnya mati keracunan. Wajahnya pernah dibenamkan dalam popok adik bayinya yang penuh kotoran sehingga kotoran itu masuk tertelan ke dalam mulut dan hidungnya. Pernah juga ia ditusuk pisau dan dibiarkan sekarat selama berhari-hari tanpa perawatan. Pelzer kecil mengalami semua siksaan itu tanpa bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak memahami mengapa ayahnya tidak pernah membelanya dan selalu kalah setiap kali bertengkar dengan ibunya. Ia juga tidak mengerti mengapa ia diperlakukan secara berbeda dengan saudara-saudaranya dan mengapa dirinya saja yang selalu menjadi korban tabiat buruk ibunya. Sebagai anak-anak, ia sama sekali tidak mengerti. Yang ia tahu dan coba lakukan hanyalah berusaha untuk bertahan, berusaha untuk tetap survive. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang aneh. Pergi ke sekolah tapi tidak mampu bergaul dengan teman-temannya. Pakaiannya lusuh dan tidak terawat. Dan ia juga terbiasa mencuri makanan murid-murid lain (demi memenuhi rasa laparnya) yang membuat ia semakin dibenci dan dijauhi. Pelzer menjalani semua itu sampai awal usia belasan ketika salah seorang gurunya melihat badanya yang penuh bekas luka. Kasusnya kemudian dilaporkan ke polisi. Petugas sosial, melalui keputusan pengadilan, kemudian memisahkan Pelzer dari orang tuanya. Apakah persoalannya sudah selesai? Apakah seorang anak yang bertahun-tahun jadi korban child abuse akan berubah menjadi baik dan berhasil hanya dengan dipisahkan dari orang tuanya? Tentu saja tidak. Pelzer melalui masa-masa yang berat.
Perilakunya masih aneh dan ganjil dan beberapa orang tua angkatnya terpaksa menyerah dan mengembalikannya ke lembaga sosial untuk dicarikan orang tua asuh baru. Tapi pada akhirnya ia bisa melalui semuanya. Pelzer kemudian bergabung dengan Angkatan Udara AS. Belakangan ia juga menjadi pembicara seminar dan seorang motivator, menulis beberapa buah buku, dan memperoleh beberapa penghargaan atas prestasinya. Keadaannya berubah sepenuhnya. Anak yang mengalami ’neraka dunia’ di masa kecilnya ternyata mampu meraih kesuksesan di masa dewasanya. Nasib manusia memang sulit untuk ditebak. Karenanya kita tidak perlu merasa iri dengan keberuntungan orang lain dan tidak perlu mencemooh nasib buruk orang lain. Jalani saja kehidupan kita sendiri sesuai dengan tuntunan Islam. Kalau nasib kita kurang beruntung maka bersabar saja dan jangan kehilangan harapan. Dan kalau hidup kita penuh nikmat dan bahagia, maka banyak-banyaklah bersyukur serta tetap waspada akan kemungkinan datangnya musibah setelah itu. Insya Allah semuanya akan menjadi baik bagi kita.
Kuala Lumpur, 23 Rajab 1431, 5 Juli 2010 Dapat dibaca juga di: http://ketikaallahmenguji.wordpress.com/2010/07/19/perjalanan-hidup-manusia/
sumber catatan facebook alwi alatas
Perjalanan hidup manusia tak selalu mudah untuk ditebak. Tidak ada jaminan bahwa mereka yang sudah berhasil akan selamanya berhasil. Demikian juga mereka yang nasibnya kelihatan begitu buruk, boleh jadi keadaannya menjadi lebih baik di masa-masa berikutnya. Karenanya kita tidak boleh berputus asa saat mengalami kesulitan hidup, dan juga jangan merasa aman jika kehidupan kita berada dalam kesenangan dan keberhasilan. Saat dilanda ujian hidup yang sangat berat, kita perlu terus memberikan secercah harapan bagi diri kita sendiri terhadap peluang datangnya kebaikan di kemudian hari. Demikian juga saat hidup kita nyaman dan sukses, jangan sampai kita kehilangan kewaspadaan dan kesiapan terhadap kemungkinan yang buruk di masa-masa berikutnya. Lewat tulisan ini kami ingin menceritakan beberapa contoh kasus perjalanan hidup manusia yang kadang bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Dari sana mungkin kita bisa banyak belajar dan merefleksikannya bagi kehidupan kita sendiri. Para pembaca di Malaysia tentu mengetahui kisah seorang gadis jenius matematika yang ayahnya merupakan keturunan Pakistan dan ibunya berasal dari Malaysia. Ia menjadi salah satu mahasiswi termuda di Oxford, Inggris, pada usia 13 tahun (biarlah saya tidak menyebut namanya). Wow, menjadi mahasiswi jurusan Matematika di Oxford pada usia 13 tahun (pada usia itu saya baru saja lulus sekolah dasar). Semua orang tentu berdecak kagum. ’Math genius,’ ’female child prodigy’ (keajaiban gadis cilik), demikian orang-orang menyebutnya. Siapa yang tidak akan iri dengan gadis cilik ini. Potensinya begitu cemerlang dan masa depannya begitu cerah. Banyak orang mungkin membayangkan gadis ini akan muncul sebagai salah satu raksasa pengetahuan pada masa yang akan datang, atau setidaknya ia akan menjadi orang yang sangat berhasil. Tapi apa yang terjadi kemudian? Dua tahun setelah masuk Oxford ia lari dari rumah dan tidak meneruskan kuliahnya. Pada umur 19 tahun ia menikah dan bercerai satu tahun kemudian. Dan pada usia 23 tahun ia didapati menjadi seorang pelacur yang menawarkan jasanya melalui internet. Identitas dan profesi barunya diungkap oleh seorang wartawan Inggris dan beritanya menimbulkan kegemparan di negara itu, dan juga di Malaysia. Ayahnya sendiri beberapa waktu sebelumnya telah dipenjarakan karena pelecehan seksual. Banyak orang yang merasa shok dan sedih dengan apa yang mereka dengar. Apa yang sebelumnya merupakan anugerah, kini berbalik menjadi bencana.
Nikmat dan keistimewaan yang dimiliki pada masa kecil ternyata tidak memastikan kebaikan dan kesuksesan pada masa-masa berikutnya. Mudah-mudahan Allah menjaga kita dari hal yang seperti ini. Kini kita akan melihat contoh yang lain, yaitu kisah David Pelzer. Sebagaimana yang ia tuturkan sendiri melalui trilogi bukunya, A Child Called It, The Lost Boy, dan A Man Named Dave, Pelzer mengisahkan perjalanan awal hidupnya yang amat tragis. Ia merupakan korban child abuse kedua terburuk di negeara bagiannya di Amerika Serikat. Sejak kecil ia telah menjadi sasaran penganiayaan oleh ibunya sendiri. Setiap yang membaca kisahnya akan merasa sulit untuk membayangkan betapa seorang ibu bisa bersikap begitu jahat pada anak kandungnya sendiri. Pelzer kecil tidak diperlakukan sebagai seorang manusia oleh ibunya sendiri. Bahkan ia dipanggil dengan sebutan ’it,’ sebuah kata ganti bahasa Inggris untuk benda atau hewan. Sehari-hari ia disiksa, tidak diberi makan (kadang diberi makanan sisa dari tempat sampah).
Ia pernah dikurung dalam kamar mandi yang diisi bahan kimiawi yang nyaris membuatnya mati keracunan. Wajahnya pernah dibenamkan dalam popok adik bayinya yang penuh kotoran sehingga kotoran itu masuk tertelan ke dalam mulut dan hidungnya. Pernah juga ia ditusuk pisau dan dibiarkan sekarat selama berhari-hari tanpa perawatan. Pelzer kecil mengalami semua siksaan itu tanpa bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak memahami mengapa ayahnya tidak pernah membelanya dan selalu kalah setiap kali bertengkar dengan ibunya. Ia juga tidak mengerti mengapa ia diperlakukan secara berbeda dengan saudara-saudaranya dan mengapa dirinya saja yang selalu menjadi korban tabiat buruk ibunya. Sebagai anak-anak, ia sama sekali tidak mengerti. Yang ia tahu dan coba lakukan hanyalah berusaha untuk bertahan, berusaha untuk tetap survive. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang aneh. Pergi ke sekolah tapi tidak mampu bergaul dengan teman-temannya. Pakaiannya lusuh dan tidak terawat. Dan ia juga terbiasa mencuri makanan murid-murid lain (demi memenuhi rasa laparnya) yang membuat ia semakin dibenci dan dijauhi. Pelzer menjalani semua itu sampai awal usia belasan ketika salah seorang gurunya melihat badanya yang penuh bekas luka. Kasusnya kemudian dilaporkan ke polisi. Petugas sosial, melalui keputusan pengadilan, kemudian memisahkan Pelzer dari orang tuanya. Apakah persoalannya sudah selesai? Apakah seorang anak yang bertahun-tahun jadi korban child abuse akan berubah menjadi baik dan berhasil hanya dengan dipisahkan dari orang tuanya? Tentu saja tidak. Pelzer melalui masa-masa yang berat.
Perilakunya masih aneh dan ganjil dan beberapa orang tua angkatnya terpaksa menyerah dan mengembalikannya ke lembaga sosial untuk dicarikan orang tua asuh baru. Tapi pada akhirnya ia bisa melalui semuanya. Pelzer kemudian bergabung dengan Angkatan Udara AS. Belakangan ia juga menjadi pembicara seminar dan seorang motivator, menulis beberapa buah buku, dan memperoleh beberapa penghargaan atas prestasinya. Keadaannya berubah sepenuhnya. Anak yang mengalami ’neraka dunia’ di masa kecilnya ternyata mampu meraih kesuksesan di masa dewasanya. Nasib manusia memang sulit untuk ditebak. Karenanya kita tidak perlu merasa iri dengan keberuntungan orang lain dan tidak perlu mencemooh nasib buruk orang lain. Jalani saja kehidupan kita sendiri sesuai dengan tuntunan Islam. Kalau nasib kita kurang beruntung maka bersabar saja dan jangan kehilangan harapan. Dan kalau hidup kita penuh nikmat dan bahagia, maka banyak-banyaklah bersyukur serta tetap waspada akan kemungkinan datangnya musibah setelah itu. Insya Allah semuanya akan menjadi baik bagi kita.
Kuala Lumpur, 23 Rajab 1431, 5 Juli 2010 Dapat dibaca juga di: http://ketikaallahmenguji.wordpress.com/2010/07/19/perjalanan-hidup-manusia/
sumber catatan facebook alwi alatas